Thursday, June 7, 2012

TANAH ULAYAT


Tujuan Pengaturan Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Perda No. 6 tahun 2008)
adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan .

Sasaran Utama Pemanfaaatan Tanah Ulayat
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat . Lebih lanjut dinyatakan juga bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan penyediaan data/informasi pertanahan

Jenis Tanah Ulayat
Perda No. 6 tahun 2008 mengklasifikasikan tanah ulayat di Sumatera Barat atas 4 (empat) jenis tanah ulayat, yakni tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo .
Tanah-tanah ulayat tersebut dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Bila didaftarkan, tanah ulayat nagari diberi status Hak Guna Usaha (HGU), hak pakai atau hak pengelolaan (HPL). Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum diberi status hak milik. Sedangkan tanah ulayat rajo diberi status hak pakai dan hak kelola.

Dari ketentuan tersebut di atas, dipahami bahwa jika tanah ulayat didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka statusnya diubah menjadi HGU, hak pakai, HPL, hak milik dan hak kelola. HGU, hak pakai, HPL dan hak milik merupakan status tanah yang dikenal dalam hukum pertanahan Indonesia.

Lahirnya Perda No.6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk melindungi eksistensi tanah ulayat di sumatera Barat, namun juga hadir untuk kepentingan investasi dan pembangunan .


Secara eksplisit, Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah ulayat dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan/atau bentuk lain yang disepakati .

Kemudian, Perda No. 6 tahun 2008 juga memungkinkan investor memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikutsertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian . Apabila perjanjian penyerahan hak penguasan dan/atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan berakhir, maka status pengusahaan dan/atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula .

Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain tersebut, dimungkinkan tidak hanya berdasarkan perjanjian saja. Perda No. 6 tahun 2008 juga memberi peluang untuk didaftarkannya tanah ulayat tersebut dengan hak-hak tertentu . Jikalau tanah ulayat didaftarkan, niscaya mekanismenya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Perda No.6 tahun 2008. Bila dilaksanakan, status hukum tanah ulayat akan berubah. Sebab, dalam hukum tanah Indonesia tidak ada pemberian HGU, HGB, dan hak pakai di atas tanah ulayat.

Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) Perda No.6 tahun 2008 mengatur bahwa bila perjanjian tanah ulayat yang terdaftar tersebut berakhir, maka pengaturan pemanfaatan tanah selanjutnya dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk diserahkan kepada penguasa dan/atau pemilik tanah ulayat semula. Bila perjanjian berakhir, mengapa tanah ulayat tersebut tidak langsung diserahkan pada masyarakat hukum adat dan harus melalui perantaraan Pemerintah Kabupaten/ Kota? Tidak mungkin ketentuan ini dibuat tanpa ada pertimbangan tertentu yang melatarbelakanginya.


Mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur oleh Perda No.6 tahun 2008 berimplikasi terhadap berubahnya status hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan asas utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh Pasal 2 ayat (1) Perda No.6 tahun 2008, yaitu jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan sando . Hal ini merupakan kerugian besar bagi keberlangsungan tanah ulayat di Sumatera Barat.

Di samping itu, pengaturan pemanfaatan maupun pendaftaran tanah ulayat tersebut, ditenggarai dapat pula memicu konflik antara Pemerintah Nagari dengan KAN. Dalam Perda Provinsi No.2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari dinyatakan bahwa tanah ulayat nagari merupakan harta kekayaan nagari.

 Ciri Jual Gadai yang diatur dalam hukum adat :  
1. Hak Pembeli Gadai
Dengan penerimaan tanah itu si pembeli gadai berhak :
a.               .Menikmati manfaat yang melekat pada hak milik, dengan pembatasan :
- Tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada orang lain;
- Tidak boleh menyewakannya untuk lebih dari satu musim lamanya(jual tahunan)

b.               Mengoperkan gadai ataupun menggadaikan kembali/menggadaikandibawah harga, tanah tersebut kepada orang lain jika ia sangatmemerlukan uang, sebab ia tidak dapat memaksa si penjual gadai semula untuk menebus tanahnya;

c.                Mengadakan perjanjian bagi hasil


         2. Sifat Hubungan Gadai
a.               Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang uang dengantanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai;

b.               Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahli warisnya

c.       Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai, dalam hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh si penjualgadai sendiri, dengan janji : jika si penjual (merangkap penyewa) tidakmembayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh sipembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap :menjadi objek gadai dan sekaligus objek sewa pula).

 
3. Kemungkinan Mengoperkan Gadai dan Menggadaikan Kembali
Menurut hukum adat, pemegang gadai tidak dapat menuntut pemilik tanah untuk menebus tanah gadainya. Oleh karenanya jika pemegang gadaimemerlukan uang, ia dapat menempuh dua jalan, yaitu dengan mengalihkangadai atau dengan menganakkan gadai.

  • Setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai dapat mengoperkangadai itu kepada pihak ketiga, yaitu menyerahkan tanah tersebutkepadanya dengan menerima sejumlah uang tunai. Dengan demikianterjadilah pergantian subjek di dalam perutangan yang sama: hubunganhukum antara penjual gadai dengan pembeli gadai semula berubahmenjadi hubungan hukum antara penjual gadai dengan pembeli gadaiyang baru.
  • Tanpa  setahu dan seizin penjual gadai, si pembeli gadai menggadaikankembali tanah itu kepada pihak ketiga, dengan janji : ia sewaktu-waktudapat menebus tanah itu dari pihak ketiga tersebut. Dengan demikian, terdapatlah dua perutangan :
1) Antara penjual gadai semula dengan pembeli gadai semula (terang-terangan);
2) Antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketigayang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi)

Mengenai waktu gadai, dalam hukum adat tidak mengenal daluarsa(verjaring ).Jika waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemberi gadai belum mampuuntuk menebus tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai tidak berhak mendesak pemberi gadai.


Aturan Menggadaikan Harta Pusaka:

1.Apabila orang hendak mengadaikan harta pusakanya kerena alasanyang benar sepanjang adat, terlebih dahulu dia wajib memberitahukankepada kaumnya yang sama-sama serumah, kalau-kalau ada diantara mereka yang bisa membeli atau memegang harta itu, maka namanya sepanjang adat memperlegarkan di dalam rumah.

2.Lepas dari yang serumah, baru boleh berkisar kepada yang sebuah perut, lepas dari yang sebuah perut bergelegar kepada yang  sekampung, lepas sekampung kepada sesuku, lepas dari sesuku baru beralih ke dalam nagari dan seterusnya.


No comments:

Post a Comment